PERTANAHAN DAN PERUMAHAN
Hukum Pertanahan
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), pengaturan mengenai hukum pertanahan di Indonesia tidak hanya terdapat dalam satu macam hukum. Peraturan dalam arti kaedah-kaedah tersebut dapat dijumpai di dalam berbagai macam bidang hukum, yaitu :
a. Hukum tanah adat.
b. Hukum tanah barat.
c. Hukum tanah antar golongan.
d. Hukum tanah administrasi.
e. Hukum tanah swapraja.
Hukum Bangunan
Istilah bangunan dalam KBBI diartikan sebagai sesuatu yangg didirikan, atau sesuatu yg dibangun (seperti rumah, gedung, menara) dan sebagainya. Menurut pendapat yang lazim dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan hukum bangunan ialah keseluruhan peraturan-peraturan yang menyangkut pembangunan suatu bangunan.
Bangunan gedung pada dasarnya memegang peranan yang sangat penting sebagai tempat dimana manusia melakukan kegiatannya sehari-hari. Pengaturan bangunan gedung secara khusus dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (UUBG).
Pengetahuan mengenai UUBG ini menjadi penting mengingat hal-hal yang diatur dalam UU Bangunan Gedung tidak hanya diperuntukan bagi pemilik bangunan gedung melainkan juga bagi pengguna gedung serta masyarakat. Diatur dalam UU Bangunan Gedung, pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.
Hukum Agraria
Istilah tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasas latin agre yang berarti tanah atau sebidang tanah, dan agrarius yang berarti persawahan, perladangan, pertanian. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanahan atau tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah, dalam bahasa inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha pertanian, sedang dalam UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Pengertian agraria dalam bahasa Yunani disebut sebagai ”ager” artinya Tanah/keladanan, dan dalam bahasa Belanda, agraria disebut dengan istilah ”akker” yakni tanah atau perladangan, juga dalam bahasa Inggris yakni ”land”. Menurut Andi Hamzah, agraria merupakan masalah tanah dan semua yang ada di dalam dan di atasnya. Menurut Subekti dan R. Rjitrosoedibio, agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam dan di atasnya. Apa yang ada di dalam tanah misalnya batu, kerikil, tambang, dan yang ada di atas tanah dapat berupa tanaman, dan bangunan. Dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non-pertanian.
Asas-asas Hukum Dalam Hukum Pertanahan dan Hukum Bangunan
Asas hukumlah yang mendasari esensi dari sebuah lembaga atau bagian-bagiannya. Asas dalam hukum pertanahan termasuk kategori asas hukum khusus yang “berfungsi dalam bidang yang lebih sempit seperti dalam bidang hukum perdata”, dengan demikian, asas dalam hukum pertanahan merupakan sebuah pondasi pikiran yang mendasari pembentukan kaidah-kaidah hukum pertanahan serta peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tanah.
Asas hukum dalam hukum pertanahan dan hukum bangunan terdiri dari beberapa perspektif, yaitu perspektif hukum perdata, hukum agraria dan, secara khusus membahas asas pemisahan horizontal dan asas pelekatan vertikal, sebagai asas hukum hukum pertanahan dan hukum bangunan.
Asas-asas hukum benda dibagi menjadi asas-asas hukum benda tanah dan asas-asas hukum benda bukan tanah. Khusus mengenai hubungan tanah dengan benda-benda bukan tanah di atasnya, dapat digunakan asas pemisahan horizontal sebagai asas hukum pertanahan, sebagai lawan dari asas acessie khususnya acessie verticale.
Salah satu aspek yang penting dalam hukum pertanahan dan hukum bangunan ialah tentang hubungan antara tanah dengan benda yang lain yang melekat padanya. Kepastian hukum terkait dengan kedudukan hukum dari benda yang melekat pada tanah itu sangat penting, karena hal ini mempunyai pengaruh yang luas terhadap segala hubungan hukum menyangkut tanah dan benda yang melekat padanya.
Asas pemisahan horizontal yang dianut dalam hukum adat memisahkan hak atas tanah dari segala sesuatu yang melekat padanya, hal itu berangkat dari pemikiran hukum adat yang meletakkan benda tanah sedemikian tingginya dibandingkan dengan benda lain. Menurut Iman Sudiyat bahwa “hak mempunyai dan mendiami rumah sendiri di atas pekarangan orang lain (hak tersebut dapat dicabut kembali) di samping rumah pemilik pekarangan sendiri, disebut hak menumpang pekarangan (recht als bijwoner), sedangkan hak mempunyai dan mendiami rumah sendiri di atas pekarangan orang lain yang tidak didiami oleh pemiliknya, disebut hak menumpang rumah (recht als opwoner). Penumpang rumah atau penumpang pekarangan seperti indung, lindung, magersari, penumpang.
Asas pelekatan dalam sistem hukum benda Indonesia memiliki fungsi pengaturan yang terkait dengan hubungan antara benda pokok dengan benda yang melekat pada benda tersebut (benda pelengkap). Hubungan hukum antara benda pokok dan benda pelengkap terdapat dalam rumusan Pasal 500 KUH-Perdata, yang berbunyi :
“Segala apa yang karena hukum pelekatan termasuk dalam sesuatu kebendaan, seperti pun segala hasil daripada kebendaan itu, baik hasil karena alam, maupun hasil karena pekerjaan orang selama yang akhir ini melekat pada tanahnya, kesemuanya itu adalah bagian daripada kebendaan tadi”.
Berdasarkan rumusan pasal tersebut hubungan antara benda pokok dan benda pelengkap, harus dipandang sebgai bagian yang tidak terpisahkan dari benda pokoknya. Asas pelekatan di dalam KUH-Perdata terbagi menjadi dua yakni asas pelekatan secara mendatar (horizontal) dan asas pelekatan tegak lurus (vertikal). Asas pelekatan horizontal, melekatkan suatu benda sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari benda pokoknya seperti halnya balkon dengan rumah induknya sebagaimana dinyatakan pada Pasal 588 KUH-Perdata, dan asas pelekatan vertikal terkait antara hubungan tanah dengan benda (bangunan atau tanah) yang ada diatasnya maupun di dalamnya. Asas pelekatan vertikal merupakan konsep hukum yang diambil dari Hukum Romawi dengan asas hukumnya seperficies ceedit solo yang berarti “pemilik sebidang tanah juga menjadi pemilik atas bangunan di atasnya. Anda tidak dapat memiliki lantai dari sebuah bangunan”.
Kedudukan Hukum Pertanahan dan Hukum Bangunan Dalam Perspektif Hukum Agraria
Terkait hubungan antara hukum pertanahan dan hukum agraria, menjadi perdebatan panjang di antara para ahli hukum, perdebatan tersebut terkait dengan ruang lingkup dari hukum agraria. Bagi sebagian pakar hukum, memandang ruang lingkup hukum agraria lebih luas dari sekedar mengatur tentang aspek hukum pertanahan, dan kalangan yang lain menganggap ruang lingkup hukum agraria dipersempit hanya ke dalam hal-hal yang mengatur persoalan-persoalan tanah.
Pandangan yang mempersempit hukum agraria hanya sebatas pada hukum pertanahan yang memiliki dasar argumentasi yang memadai. Hal ini disebabkan sebagian besar dari ketentuan-ketentuan dalam UUPA mengatur tentang aspek-aspek dari hukum pertanahan. Mulai dari kelembagaan hak atas tanah sebagaimana diatur pada Pasal 16 ayat (1) UUPA, Pendaftaran Tanah di dalam Bagian II Pasal 19 UUPA sampai dengan ketentuan Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan pada Pasal 46 UUPA. Terkait dengan perbedaan dalam memandang ruang lingkup agraria di dalam UUPA, apabila membaca berbagai pasal-pasal dari UUPA akan jelas, bahwa UUPA kadang kala berbicara mengenai bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan tentang tanah.
Boedi Harsono melakukan pembagian hukum agraria berdasarkan pendekatan yang luas ke dalam hak-hak penguasaan atas sumber-sumber alam tertentu yang terdiri dari :
- Hukum pertanahan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan bumi.
- Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air.
- Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksud oleh UU pokok pertambangan.
- Hukum perikanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air.
- Hukum penguasaan tenaga dan unsur dalam ruang angkasa (bukan space law) mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur ruang angkasa yang dimaksud oleh Pasal 48 UUPA.
Hubungan atau kedudukan antara hukum pertanahan dan hukum bangunan, berpengaruh pada hukum perdata lainnya, yakni terkait dengan tanah dan jaminan sebagai objek jaminan, dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (UUJF), pada Pasal 1 ayat (4) yang menyebutkan “benda ialah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang bergerak maupun tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik”.
Pembentukan hukum bangunan terlepas dari hukum pertanahan, akan tetapi, karena sifat hubungan yang diatur pada pasal-pasalnya tersebut merupakan bagian “tidak terpisah dengan tanah”, jadi dalam perspektif hukum, UUBG merupakan kelanjutan atau lex spesialist dari pelaksanaan UUPA dalam arti sempit (hukum tanah) secara implisit dan malah hukum adat dalam sistem hukum benda. Apabila dalam pengertian bangunan gedung sebagaimana diatur pada pasal-pasal tersebut di atas yang dalam penggunaannya disebutkan bahwa bangunan gedung berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya maupun kegiatan khusus, berarti secara fungsional, UURS dan UUBG memiliki misi yang sama dalam membangun hukum bangunan.
0 komentar: